selamat datang

great lawyer....
semoga menjadi kenyataan...amin
anda berkunjung, mohon doa ya:)

Sabtu, 19 Mei 2012

Pengalaman dan cerita hari ini seolah menjadi bahan wajib untuk saya bagi. Begitu banyak hal berharga yang saya dapatkan dan menjadi pembelajaran. Tidak mau "membusuk" sendiri dalam pikiran saya, jadi alangkah lebih baik nya cerita dan pengalaman ini saya ceritakan kembali kepada teman-teman. Walaupun saya menyadari bahwa entah ada entah tidak orang yang akan singgah menengok dan "syukur-syukur" membacanya. Namun, terlepas dari itu semua bukanlah halangan bagi saya untuk tetap menulis.

Hari ini saya "mengajar" di sebuah rumah belajar atau rumbel di bilangan cibubur Jakarta Timur. Ini bisa dibilang pengalaman saya mengajar di sebuah rumbel. Walaupun bukan untuk yang pertama kalinya saya mengajar. Sebelum ini, saya pernah part time di sebuah lembaga bimbingan belajar untuk anak SMA di Jkt dan Depok. Namun, rumbel ini menjadi menarik karena peserta nya di dominasi oleh anak-anak dengan kisaran umur 6-12 tahun. Wah, ini hal yang menantang sekali buat saya, ya...buat saya yang sejah jauh hari mendeklarasikan diri sebagai "tidak suka anak-anak". Tapi demikian, berkat dorongan "the angels inside my head and my heart" saya tertarik sedemikiannya untuk mengajar di rumbel ini. Sekalian belajar lah pikir saya.

kenyataannya, benar-benar TANTANGAN!, saya harus menjadi peri di hadapan anak-anak tersebut, saya harus mendengarkan celotehan mereka, saya harus melakukan hal-hal "gila" bersama mereka, saya harus begini, saya harus begitu sesuai dengan kemauan mereka. Ahhh...kalau begini caranya, yang ngajar dan pengajar siapa ini pikir saya. Tapi, akhirnya lama kelamaan saya menikmati waktu bersama mereka tanpa terasa sudah beranjak malam, saya harus pulang kembali ke kosan, dan mereka tentunya perlu istirahat.

dalam perjalanan pulang ke kosan, saya bercerita banyak dengan seorang rekan sesama pengajar. Apalagi yang menjadi topik perbincangan kita kalau bukan makhluk-makhluk mungil yang bermain bersama kami. Seperti sebuah forum diskusi, saya berbincang hangat dengan teman tersebut ttg anak-anak tersebut. Dari sifat mereka, kreativitas mereka, sampai dengan hal-hal yang sepatutnya kami lakukan untuk mereka, untuk mengembalikan jati diri dan identitas mereka sebagai kanak-kanak.

Pasalnya, di tengah-tengah kelucuan dan kepolosan "anak-anak" mereka, terpampang pemandangan yang membuat miris kami sebagai pengajar. Ternyata adik-adik kami tersebut mahir sekali "menjadi" orang dewasa, mulai dari berlagak dewasa, ngomong seperti orang dewasa, nyanyi nyanyian orang dewasa, dan maniak sinetron, boy band, dan girl band yang lagi menjamur pula.

sekilas biasa saja ketika mereka mulai bernyayi dan nge dance dengan kompak dan penuh semangat, bukankah itu salah satu bentuk kreativitas? iya, memang, tetapi justru itu yang membuat kami resah. Mereka seperti kertas putih bersih yang siap menerima goresan tinta, dengan warna apapun. Tingkat meniru yang tinggi dan rasa ingin tahu yang tinggi pula membawa mereka ke dalam hal-hal baru yang luar biasa banyaknya. Namun, mereka belum dilengkapi dengan "filter" yang memadai untuk mereka bisa memilah mana yang harus mereka ikuti dan mana yang tidak.

melihat kondisi ini, membuat saya dan teman tersebut berfikir mencari suatu jalan untuk mengembalikan mereka ke identitas asli mereka. Dalam artian, bukan sama sekali menjadikan mereka "childish", tetapi hanya ingin memperkenalkan kepada mereka dunia anak sesungguhnya.

hingga, hal-hal tersebut membuat saya semakin yakin ingin kontribusi semampu saya di "dunia" ini, walaupun tidak akan mengubah mereka secara sempurna, tetapi tidak ada artinya tanpa saya juga berdiam diri. Akan tetapi, terlepas dari kemirisan itu, saya belajar suatu hal yang penting juga, ketika saya merasa miris melihat adik-adik kecil itu terhantar jauh dari identitas mereka, apakah saya juga seperti itu? apakah saya sedang memakai "baju" yang tidak pas dengan saya? semoga saja tidak   :)

nothing great in the world be accomplished without passion

Senin, 14 Mei 2012

Dia tidak membangun sebuah rumah untuk saya.

Setiap kita pasti bertanya-tanya kenapa Tuhan memilih kita untuk menjadi manusia dan menjalani kehidupan di dunia ini. Saya misalnya, apabila terbuka ruang untuk merenung, pertanyaan pertama yang melintas di benak saya, selalu pertanyaan WHY ME?. Kenapa saya ada, kenapa saya bernyawa, kenapa saya bernama, dan yang penting kenapa saya harus punya keluarga.

Memikirkan itu semua ternyata hanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Ibaratkan satu pohon memiliki banyak cabang. Satu pertanyaan WHY ME bercabang menjadi WHAT HOW WHO dan WHEN. Akhirnya, walaupun bertanya bukanlah hal yang salah, tetapi kalau hanya menjerat kita di jaring-jaring kebingungan, ya buat apa?

tetapi, tetap saja sebagai binatang yang berakal, manusia tidak akan pernah berhenti memiliki deposito pertanyaan di otaknya. Baik itu yang terucap, maupun hanya disimpan saja. Begitu pula saya, yang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, tetapi mencoba bernegosiasi dengan hanya tertarik pada satu pertanyaan, yaitu mengapa saya harus punya keluarga?

Keluarga yang saya maksud disini adalah Ibu, Bapak, dan dua orang kakak yang saya miliki. Saya mencintai mereka sama halnya mereka mencintai saya. Tetapi, ada sebuah pengakuan, bahwa apakah mereka PERNAH menyesal memiliki saya, ketika suatu kali saya pernah menyesal memiliki mereka, atau tepatnya menjadi bagian dari mereka, astagfirullah !.

Ya, ini lah awal yang ingin saya bagi dan ceritakan. Seperti yg saya ungkap di awal, pertanyaan-pertanyaan itu menghantarkan saya pada sebuah penyesalan dan penyangkalan kepada Nya. Kenapa saya harus terlahir dari keluarga seperti ini, kenapa saya harus mempunyai kedua orang tua yang seperti ini,rumah, kehidupan, dan lain-lain.

Inilah masa-masa dimana saya membuat definisi bahagia yang keliru. Selalu melihat kepada kehidupan orang lain, dan kebahagian orang lain dalam artian yang materiil. Mereka punya kedua orang tua yang kece, rumah yang bagus dengan perabotan yang lengkap, dan bisa memiliki apa saja tanpa harus maju-mundur dan berfikir puluhan kali untuk memintanya. Itulah hidup yang saya mau, itu lah hidup yang saya ingin. Bukan kehidupan status quo saya sekarang (saat itu). Kedua orang tua yang membiarkan saya hidup dengan keputusan-keputusan pribadi saya, rumah yang biasa-biasa saja, dan finansial yang selalu dalam keadaan was-was.

pemikiran itu terus menjadi bayang-bayang saya sampai suatu peristiwa besar dalam keluarga saya menyadarkan saya, tepatnya menghentakkan saya ke dasar bumi paling dalam sekalipun dari awang-awangnya pikiran bodoh dan angkuh saya. Di masa saya sedang keasyikan merajut mimpi untuk sekolah di SMA pilihan, bapak saya, nahkoda rumah tangga kami mengalami sakit yang amat parah dua tahun lamanya. Peristiwa ini pukulan telak bagi keluarga saya, sekaligus titik balik bagi kami semua, dan bagi saya. Andaikata kejadian itu diulang kembali, maka yang hanya bisa saya ingat bahwa hari demi hari kami disambungkan dengan tangis dan air mata. Bagi saya yang menginjak usia labil saat itu, dimana saya sangat butuh bimbingan orang tua, saya sangat butuh saran dari mereka dan butuh bimbingan dari mereka, justru dibiarkan terbang seperti layang-layang. Tapi di titik itu lah saya sadar dan saya seperti manusia karbitan dengan dewasa yang karbitan.

saat itu, bahkan melanjutkan sekolah hanya daftar mimpi yang entah bisa atau tidak bisa saya raih. Hingga suatu malam, dimana besok adalah hari terakhir pendaftaran sekolah, saya melihat bapak saya "memaksa" bangun dari istirahatnya dan berpakaian rapi. Dengan heran saya bertanya, "bapak kenapa? dan bapak mau kemana?", saat itu bapak saya menjawab bahwa ia sudah sehat dan besok akan kembali bekerja. Saya semakin panik, dan lanjut bertanya, "bapak jangan main-main deh, berdiri saja bapak tidak sanggup apalagi harus membawa truk?", sambil tersenyum bapak saya menjawab, "saya akan lebih sakit menyaksikan kamu, Ibu mu dan kakak-kakak mu hidup seperti tanpa harapan, dan saya tidak bisa melakukan apapun, hanya berbaring dan menatap wajah kalian, apalagi kamu harus sekolah, harus bagaimanapun caranya". Mendengar itu, seperti sesak di dada saya akan meledak rasanya, saya bilang bahwa tidak masalah saya harus menunda sekolah sampai bapak sembuh, yang penting saat ini bagaimana bapak bisa sembuh. Mendengar jawaban saya, bapak hanya menjawab sambil terus menatap dalam kemata saya, "kalau malam ini saya mati, berarti kamu tidak akan pernah sekolah? itu yang kamu mau, padahal saya hanya ingin kamu tumbuh sebagai anak yang berilmu, tidak seperti kami yang membesarkanmu hanya dengan tulang belulang yang kami punya. Jika kamu berfikiran seperti itu, cukuplah itu yang akan membunuh saya bukan penyakit ini. Melihat kamu tumbuh sebagai anak yang mandiri, percaya diri, dan punya prestasi di sekolah mu adalah kebahagiaan terbesar saya sekaligus cobaan bagi saya. Memang harusnya kamu tidak terlahir dari ibu dan punya bapak seperti saya."

saya tidak mampu berkata apa-apa lagi, malam itu lunturlah semua ego dan semua pikiran picik saya. Ya Allah, lelaki yang karena dia saya ada, yang setengah darah saya mengalir darah nya begitu percaya bahwa saya bisa. Memikirkan saya disaat malaikat maut bisa saja membawanya pergi dari kami. Hanya ingin menjadikan anak nya berilmu dan berharta dengan ilmunya. Adegan selanjutnya hanyalah tangisan Bapak dan Anak dalam rangkulan yang erat.

besoknya dan seterusnya sampai sekarang, saya menjadi manusia baru. Perkataan bapak saya malam itu seolah rahim yang melahirkan saya. Hingga saya bersyukur tiada hingga pada Nya, yang memilih dia menjadi orang yang saya panggil bapak. Beliau bukan lelaki beruntung yang memiliki saya, tetapi saya lah perempuan beruntung yang bisa menjadi putrinya. Saya berterimaksih bapak tidak membangunkan rumah terlebih dahulu untuk saya, menimbun hartanya untuk saya, tetapi bapak membangun kepercayaan diri saya dan memupuk sifat pantang menyerah dalam diri saya.

hari ini, kalau pertanyaan kenapa saya punya keluarga melintas (lagi) dalam benak saya, saya tidak perlu mencari jawabnya lagi. Justru sekarang saya sedang tamak berdoa pada Nya, agar bapak, ibu, dan kaka-kakak saya sehat selalu dan umurnya mencukupi untuk melihat saya menggenggam mimpi-mimpi saya, dan mimpi-mimpi mereka menjadi nyata.

"Bukan Bapak yang beruntung memiliki anak seperti saya, tetapi saya yang beruntung memiliki bapak seperti beliau"

Depok, 15 Mei 2012.

Kamis, 10 Mei 2012

apa yang akan terungkap ketika seseorang datang kepada anda dan bertanya perihal hobi anda? kalau saya, pasti saya tidak akan menjawab secara cepat, karena saya harus berfikir barang beberapa menit untuk memikirkan apa ya hobi saya? lagi-lagi jawaban klasik yang selalu bertahan dari jaman mengisi biodata jaman SD sampai sekarang, hobi saya adalah membaca, dan hanya itu jawaban yang bisa saya berikan. Namun, seiring bertambahnya hal-hal yang saya ketahui saat ini, sepertinya membaca ataupun menulis tidak pas saja dikelompokkan menjadi suatu hobi, tapi itu memang kebutuhan atau pada tingkatan yang lebih ekstrim sedikit menjadi keharusan, layaknya makan, tidur, mandi, atau yang lain. Kalau begitu, "fix" saat ini saya kehilangan jawaban untuk pertanyaan yang satu itu.

Karena saya memandang itu adalah masalah, menjadi hal yang lumrah saya berfikir untuk menyelesaikannya. Hingga, pada hari rabu kemaren seperti disiram oleh air ilham akhirnya saya dipertemukan dengan hobi saya. Saya tidak menyebutnya hobi baru, karena ganjil saja rasanya membentuk sebuah kebiasaan hanya dalam hitungan hari. Mungkin lebih tepatnya, hari itu hanyalah sebagai pengingat bagi saya, bahwa ada loh! hobi lain saya yang tidak pernah saya sadari, tetapi memiliki efek yang luar biasa bagi saya. Lagi-lagi tanpa saya sadari.

melihat kondisi itu, saya kembali tersadar bahwa hal-hal remeh temeh dalam sepersekian detik lamunan kita ternyata bisa mengubah keajegan yang telah terbangun dalam kehidupan kita (sadar maupun tidak).

baiklah teman, saya akan mencoba bercerita tentang hobi baru ini dan sepersekian detik lamunan saya yg membawa saya pada jawaban terhadap pertanyaan baru mengenai hobi.

Rabu, 08 Mei 2012

Rabu pagi sekitar pukul 07 00 WIB saya sudah berada di stasiun Pondok Cina Depok. Seperti ribuan pagi yang telah disaksikan oleh tembok-tembok stasiun ini, pemandangan yang tercipta adalah lalu lalang puluhan atau mungkin ratusan manusia sibuk yang seolah berlomba dengan waktu, pengamen jalanan yang menukar suara alakadarnya dengan koin-koin rupiah, ibu-ibu yang menjajakan sarapan, pengemis yang memasang tampang sememelas mungkin, dan lainnya. Sambil sesekali teriakan dari pengeras suara mengenai jadwal kereta dan peringatan untuk hati-hati menyeberangi rel.

siapapun pasti tidak menikmati pemandangan ini, karena pagi yang biasanya dijemput dengan perasaan suka malah berubah suram melihat wajah-wajah orang yang "prematur kelelahan". Tetapi, tidak dengan saya, justru pemandangan ini merupakan hal yang menarik bagi saya. Mengambil posisi duduk di pojokan, berbekal sarapan dagangan ibu-ibu yang lalu-lalang dan earphone di telinga, selanjutnya saya pasti memperhatikan manusia-manusia sekitar dengan segala kegiatannya.

mungkin, bagi sebagian orang, ini adalah hal yang dilarang. Kata orang tua saya pun, tidak baik untuk memperhatikan orang lain. Tapi maaf, justru saya mengabaikan nasihat-nasihat semacam itu. Bagi saya, ada sensasi yang lain, seperti "must be something" dengan melakukan kegiatan seperti itu. Dari apa yang saya lihat dan saya dengar, itu seperti ditulis oleh ingatan saya dan menusuk ke kalbu apabila itu "tontonan" yang memilukan.

misalnya saja seperti hari itu (masih banyak hari-hari yang lain), saya melihat sepasang suami isteri (mungkin) yang tidak biasa. Si suami yang "maaf" buta menggendong istrinya yang lumpuh berjalan dan masuk ke kereta. Apa yang saya liat itu membuat sebuah goresan di hati saya yang selanjutnya bercabang-cabang dengan ungkapan kekaguman dan otak merekam rekat apa makna yang harus saya ambil. Bahwa hidup dan kehidupan bukan masalah lengkap atau tidaknya organ tubuh anda, tetapi seberapa besar cinta untuk saling melengkapi.
di dalam kereta, saya menemukan seorang bapak (mas kali ya) yang pura-pura tidur ketika ada seorang wanita hamil yang berdiri di depannya. Hingga seorang bapak yang cukup renta berdiri dan mempersilahkan wanita itu untuk duduk. Ironis bukan? saya tidak tahu apakah si mas-mas tersebut penganut kesetaraan gender mutlak. tetapi ini masalah lain. Masalahnya bukan gender, dia lelaki dan dia perempuan, tetapi ini masalah kepatuhan. Jelas-jelas ada tulisan yang menyatakan bahwa wanita hamil adalah penumpang prioritas untuk mendapatkan tempat duduk.

hanya dua kejadian penting yang tertangkap mata, tetapi hari itu saya berasa kaya dengan makna-makna yang telah diberikan oleh mereka. Saya belajar untuk mensyukuri setiap inci yang saya peroleh, saya belajar tentang cinta yang melengkapi, dan saya belajar tentang menjadi manusia yang peduli.

ternyata benar filosofi adat saya yang menyatakan bahwa "Alam Takambang Jadi Guru", bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan di sekitar kita menjelma seperti laboratorium Mahabesar untuk kita belajar tentang kehidupan ini.

jadi, apa hobi saya? hobi saya adalah melihat-lihat. Cukup menarik kah?