selamat datang

great lawyer....
semoga menjadi kenyataan...amin
anda berkunjung, mohon doa ya:)

Senin, 14 Mei 2012

Dia tidak membangun sebuah rumah untuk saya.

Setiap kita pasti bertanya-tanya kenapa Tuhan memilih kita untuk menjadi manusia dan menjalani kehidupan di dunia ini. Saya misalnya, apabila terbuka ruang untuk merenung, pertanyaan pertama yang melintas di benak saya, selalu pertanyaan WHY ME?. Kenapa saya ada, kenapa saya bernyawa, kenapa saya bernama, dan yang penting kenapa saya harus punya keluarga.

Memikirkan itu semua ternyata hanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Ibaratkan satu pohon memiliki banyak cabang. Satu pertanyaan WHY ME bercabang menjadi WHAT HOW WHO dan WHEN. Akhirnya, walaupun bertanya bukanlah hal yang salah, tetapi kalau hanya menjerat kita di jaring-jaring kebingungan, ya buat apa?

tetapi, tetap saja sebagai binatang yang berakal, manusia tidak akan pernah berhenti memiliki deposito pertanyaan di otaknya. Baik itu yang terucap, maupun hanya disimpan saja. Begitu pula saya, yang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, tetapi mencoba bernegosiasi dengan hanya tertarik pada satu pertanyaan, yaitu mengapa saya harus punya keluarga?

Keluarga yang saya maksud disini adalah Ibu, Bapak, dan dua orang kakak yang saya miliki. Saya mencintai mereka sama halnya mereka mencintai saya. Tetapi, ada sebuah pengakuan, bahwa apakah mereka PERNAH menyesal memiliki saya, ketika suatu kali saya pernah menyesal memiliki mereka, atau tepatnya menjadi bagian dari mereka, astagfirullah !.

Ya, ini lah awal yang ingin saya bagi dan ceritakan. Seperti yg saya ungkap di awal, pertanyaan-pertanyaan itu menghantarkan saya pada sebuah penyesalan dan penyangkalan kepada Nya. Kenapa saya harus terlahir dari keluarga seperti ini, kenapa saya harus mempunyai kedua orang tua yang seperti ini,rumah, kehidupan, dan lain-lain.

Inilah masa-masa dimana saya membuat definisi bahagia yang keliru. Selalu melihat kepada kehidupan orang lain, dan kebahagian orang lain dalam artian yang materiil. Mereka punya kedua orang tua yang kece, rumah yang bagus dengan perabotan yang lengkap, dan bisa memiliki apa saja tanpa harus maju-mundur dan berfikir puluhan kali untuk memintanya. Itulah hidup yang saya mau, itu lah hidup yang saya ingin. Bukan kehidupan status quo saya sekarang (saat itu). Kedua orang tua yang membiarkan saya hidup dengan keputusan-keputusan pribadi saya, rumah yang biasa-biasa saja, dan finansial yang selalu dalam keadaan was-was.

pemikiran itu terus menjadi bayang-bayang saya sampai suatu peristiwa besar dalam keluarga saya menyadarkan saya, tepatnya menghentakkan saya ke dasar bumi paling dalam sekalipun dari awang-awangnya pikiran bodoh dan angkuh saya. Di masa saya sedang keasyikan merajut mimpi untuk sekolah di SMA pilihan, bapak saya, nahkoda rumah tangga kami mengalami sakit yang amat parah dua tahun lamanya. Peristiwa ini pukulan telak bagi keluarga saya, sekaligus titik balik bagi kami semua, dan bagi saya. Andaikata kejadian itu diulang kembali, maka yang hanya bisa saya ingat bahwa hari demi hari kami disambungkan dengan tangis dan air mata. Bagi saya yang menginjak usia labil saat itu, dimana saya sangat butuh bimbingan orang tua, saya sangat butuh saran dari mereka dan butuh bimbingan dari mereka, justru dibiarkan terbang seperti layang-layang. Tapi di titik itu lah saya sadar dan saya seperti manusia karbitan dengan dewasa yang karbitan.

saat itu, bahkan melanjutkan sekolah hanya daftar mimpi yang entah bisa atau tidak bisa saya raih. Hingga suatu malam, dimana besok adalah hari terakhir pendaftaran sekolah, saya melihat bapak saya "memaksa" bangun dari istirahatnya dan berpakaian rapi. Dengan heran saya bertanya, "bapak kenapa? dan bapak mau kemana?", saat itu bapak saya menjawab bahwa ia sudah sehat dan besok akan kembali bekerja. Saya semakin panik, dan lanjut bertanya, "bapak jangan main-main deh, berdiri saja bapak tidak sanggup apalagi harus membawa truk?", sambil tersenyum bapak saya menjawab, "saya akan lebih sakit menyaksikan kamu, Ibu mu dan kakak-kakak mu hidup seperti tanpa harapan, dan saya tidak bisa melakukan apapun, hanya berbaring dan menatap wajah kalian, apalagi kamu harus sekolah, harus bagaimanapun caranya". Mendengar itu, seperti sesak di dada saya akan meledak rasanya, saya bilang bahwa tidak masalah saya harus menunda sekolah sampai bapak sembuh, yang penting saat ini bagaimana bapak bisa sembuh. Mendengar jawaban saya, bapak hanya menjawab sambil terus menatap dalam kemata saya, "kalau malam ini saya mati, berarti kamu tidak akan pernah sekolah? itu yang kamu mau, padahal saya hanya ingin kamu tumbuh sebagai anak yang berilmu, tidak seperti kami yang membesarkanmu hanya dengan tulang belulang yang kami punya. Jika kamu berfikiran seperti itu, cukuplah itu yang akan membunuh saya bukan penyakit ini. Melihat kamu tumbuh sebagai anak yang mandiri, percaya diri, dan punya prestasi di sekolah mu adalah kebahagiaan terbesar saya sekaligus cobaan bagi saya. Memang harusnya kamu tidak terlahir dari ibu dan punya bapak seperti saya."

saya tidak mampu berkata apa-apa lagi, malam itu lunturlah semua ego dan semua pikiran picik saya. Ya Allah, lelaki yang karena dia saya ada, yang setengah darah saya mengalir darah nya begitu percaya bahwa saya bisa. Memikirkan saya disaat malaikat maut bisa saja membawanya pergi dari kami. Hanya ingin menjadikan anak nya berilmu dan berharta dengan ilmunya. Adegan selanjutnya hanyalah tangisan Bapak dan Anak dalam rangkulan yang erat.

besoknya dan seterusnya sampai sekarang, saya menjadi manusia baru. Perkataan bapak saya malam itu seolah rahim yang melahirkan saya. Hingga saya bersyukur tiada hingga pada Nya, yang memilih dia menjadi orang yang saya panggil bapak. Beliau bukan lelaki beruntung yang memiliki saya, tetapi saya lah perempuan beruntung yang bisa menjadi putrinya. Saya berterimaksih bapak tidak membangunkan rumah terlebih dahulu untuk saya, menimbun hartanya untuk saya, tetapi bapak membangun kepercayaan diri saya dan memupuk sifat pantang menyerah dalam diri saya.

hari ini, kalau pertanyaan kenapa saya punya keluarga melintas (lagi) dalam benak saya, saya tidak perlu mencari jawabnya lagi. Justru sekarang saya sedang tamak berdoa pada Nya, agar bapak, ibu, dan kaka-kakak saya sehat selalu dan umurnya mencukupi untuk melihat saya menggenggam mimpi-mimpi saya, dan mimpi-mimpi mereka menjadi nyata.

"Bukan Bapak yang beruntung memiliki anak seperti saya, tetapi saya yang beruntung memiliki bapak seperti beliau"

Depok, 15 Mei 2012.

Tidak ada komentar: